Rabu, Desember 09, 2009

Bekerja, Selaraskan dengan Bakat!


Oleh:

Ngudi Tjahjono


Seorang mantan kepala sekolah dasar di kota kecil Lumajang, namanya pak Saprawi, pernah menyampaikan uneg-uneg perihal keprihatinan beliau atas banyaknya pengangguran di Indonesia. Sampai-sampai beliau ingin membuat surat ke DPR pusat untuk manyampaikan usulannya, bahwa semestinya di setiap sekolah harus ada seorang psikolog yang mengukur dan mengarahkan para murid untuk belajar (dijuruskan) sesuai dengan bakatnya. Jika hal ini dilakukan, maka insya Allah akan dapat menekan angka pengangguran. Sayang, hingga saat ini beliau belum diizinkan oleh Allah untuk melayangkan surat itu. Beliau sendiri sangsi, apakah tepat surat itu disampaikan ke DPR?


Pernyataan ini sungguh menarik untuk disimak. Mengapa harus psikolog, kok bukan guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan)? Keberadaan guru BP yang ada selama ini sering hanya sebagai formalitas saja, bahwa hal itu harus ada. Fungsi pendekatan psikologis untuk membantu para murid dalam meingkatkan motivasi atau memecahkan masalah pribadi mereka belum bisa memenuhi harapan. Bisa disadari, sebab kebanyakan mereka tidak mempunyai pengetahuan yang baik tentang psikologi. Itulah sebabnya, mengapa pak Saprawi sangat menekankan harus ada psikolog di setiap sekolah.


Lalu, apa hubungannya dengan menekan angka pengangguran? Menurut beliau, jika sejak awal seorang anak (murid) diarahkan belajar dan bekerja sesuai dengan bakatnya, maka mereka akan belajar dan bekerja dengan perasaan senang (enjoy). Banyaknya pengangguran di Indonesia saat ini, menurut beliau, disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan bakat mereka sendiri. Sehingga ketika sekolah (belajar) mereka tidak merasa nyaman. Ketika bekerja mereka merasa tertekan karena mereka mengerjakan sesuatu yang tidak mereka sukai.


Orang-orang yang menganggur adalah orang-orang yang tidak mampu menemukan kemampuan dirinya (tidak mengenali dirinya). Mereka tidak yakin dapat melakukan dengan pekerjaan yang akan dihadapinya, sehingga ketika mencari pekerjaan pun mereka tidak punya keyakinan (pesimis). Padahal setiap orang pasti mempunyai kemampuan yang unik (khas) yang membedakan dari orang yang lain. Jika mereka mampu menemukan itu dan mengembangkannya, maka itulah kemampuan dirinya yang sebenarnya. Jika mereka bekerja sesuai dengan kemampuan khas ini, maka mereka akan dapat bekerja dengan senang dan berusaha mencapai hasil yang terbaik.


Sebenarnya Allah SWT telah menginformasikan kepada kita dalam Al Qur’an surat Al Qamar ayat 49: Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” Informasi ini menunjukkan, bahwa setiap benda (hidup atau mati) diciptakan dalam ukuran (kadar) yang berbeda-beda. Ukuran atau kadar ini tidaklah hanya dalam dimensi jarak, berat, jumlah zat penyusun dan kadar unsur-unsur kimi dalam tubuhnya, melainkan juga ada unsur lain yang bersifat ruhani. Perbedaan kadar inilah yang secara unik membedakan orang satu dengan orang lainnya. Perbedaan itu dapat berupa kekuatan fisiknya, kemampuan berpikirnya, kebagusan bentuk tubuhnya, bakatnya dan lain-lain.


Perbedaan itu akan semakin jelas ketika kita menyimak firman Allah yang ditulis di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 286: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”


Jika kita memaksakan diri agar sama dengan orang lain, maka justeru akan menyiksa diri manakala kesamaan itu secara signifikan tidak kita dapatkan. Orang yang tidak mempunyai bakat menggambar, kemudian memaksakan diri kuliah di jurusan arsitektur hanya karena ingin sama dengan temannya, maka dia akan merasa tersiksa ketika belajar di sana. Demikian juga dengan orang yang senang bertualang di lapangan, tidak akan dapat menikmati pekerjaan di belakang meja.


Maka, seharusnya kita mencari dan mengenali bakat diri kita masing-masing, kemudian mengembangkannya secara optimal. Kemudian kita berupaya bekerja sesuai dengan bakat kita tersebut. Dengan demikian, karena kita menikmati, maka kita akan menghasilkan karya yang terbaik yang mampu kita lakukan. Orang yang menikmati pekerjaannya, biasanya akan mencapai prestasi yang tinggi. Prestasi adalah capaian suatu usaha/pekerjaan yang melebihi atau minimal sama dengan target yang telah ditentukannya sendiri. Ia akan merasa puas jika prestasi itu mampu dicapainya. Orang seperti ini biasanya tidak memperhitungkan terlebih dahulu, berapa dia nanti akan dibayar, melainkan kepuasan batin lebih diutamakan.


Pelukis yang berorientasi pada prestasi, dia akan berusaha membuat lukisannya sebaik mungkin, tanpa memikirkan berapa harga lukisannya akan dibeli orang. Nilai kepuasan mencapai prestasi lebih penting daripada rupiah.


Ada pernyataan dari salah seorang dosen Teknik Industri ITB, Prof. Dr. Ir. Ali Basyah Siregar, bahwa kita harus bekerja dengan sebaik-baiknya (terbaik), maka uang akan datang sendiri. Ya, memang benar! Jangan dibalik menjadi, “Berapa Anda akan membayar saya? Maka akan saya kerjakan dengan sebaik-baiknya.” Pernyataan seperti ini adalah pernyataan orang-orang yang tidak berprestasi. Mereka mendahulukan uang ketimbang kualitas pekerjaan.


Sesungguhnya rezeki itu sudah disediakan oleh Allah SWT bagi setiap orang sebagaimana diberitahukan kepada kita dalam Al Qur’an surat Saba’ ayat 24: Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.


Hanya orang-orang yang bersyukur yang hatinya menjadi lapang, sebab mereka meyakini bahwa rezeki hanyalah dari Allah, bukan karena peran manusia. Karena itu mereka bekerja dengan target yang terbaik. Sedangkan orang-orang yang musyrik (tidak yakin akan kebergantungannya kepada Allah) akan selalu was-was. Karena itu mereka tidak berorientasi pada prestasi/kualitas, melainkan uang yang diutamakan. Mereka takut tidak bisa hidup di bumi ini, sebab mereka tidak punya tempat bergantung.


Bagi yang telah menemukan bakat Anda, sebaiknya tekuni dan kembangkan bakat itu! Tingkatkan pengetahuan penunjangnya untuk meningkatkan kualitas bakat tersebut! Kemudian arahkan orientasi kerja ke arah prestasi, bukan imbalan! Insya Allah Anda akan menjadi orang sukses. Insya Allah.



Sabtu, September 19, 2009

Selamat Iedul Fitri 1430 H


Setelah sebulan fisik dan batin kita ditempa,
olah rasa, raga, dan berkontemplasi,
tampak jelas tindakan dan ucapan yang pernah kita lakukan.
Ada yang baik dan ada yang benar,
tetapi yang paling kita ingat adalah yang salah.
Untuk itu, kami mohon maaf, mohon diikhlaskan.
Semoga kebahagiaan senantiasa menyertai kalian sekeluarga,
kembali kepada posisi hamba Allah yang sebenarnya (Abdullah),
yang bertaqwa.

Salam kami,
Ngudi Tjahjono sekeluarga


Sabtu, Agustus 15, 2009

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka?

Ungkapan "merdeka" apakah cukup menunjukkan bahwa kita merdeka? Ternyata tidak! Sebab ungkapan sering kali hanyalah "lipstick" belaka ketika orang berusaha menutupi hal yang sebenarnya. Ungkapan dapat berupa "pepes kosong" manakala meluncur dari lisan-lisan mereka yang tidak tahu makna sebenarnya. Ungkapan juga dapat keluar dengan suara merdu dan lucu dari mulut burung beo.

Ketika kita keluar dari kungkungan aturan keluarga yang ketat, apakah dapat dikatakan merdeka? Ternyata tidak! Sebab, kita akan berhadapan dengan tata aturan lebih besar yang mengatur kita. Ketika kita keluar dari batasan-batasan dan aturan nilai luhur agama, apakah lantas kita merasa merdeka? Ternyata juga tidak! Sebab, kita ternyata berhadapan dengan aturan-aturan orang lain yang seringkali kita terpaksa mengikutinya. Bahkan kita juga sering tunduk terhadap aturan-aturan nafsu kita.

Ketika kita keluar dari cengkeraman penjajah Belanda, apakah bisa kita disebut merdeka? Ternyata juga belum! Jika kita masih didominasi oleh kepentingan asing (ekonomi, politik, pertahanan dll.), berarti kita belum merdeka. Jika kita masih tunduk oleh tata pergaulan bermisi nafsu syaitani, maka berarti belum merdeka. Jika kita masih lebih suka berpihak pada nafsu, maka kita lebih pantas disebut sebagai "budak" nafsu, bukan makhluk yang merdeka.

Selama kita masih didominasi oleh makhluk, maka berarti kita dengan sadar memposisikan diri kita lebih rendah dari makhluk. Padahal tidak ada makhluk yang memiliki sifat sempurna. Jika kita tunduk kepada dominasi makhluk, maka kita menjadi budak makhluk itu. Ketika kita tunduk pada harta dan jabatan kita, maka harta dan jabatan itu menjadi majikan kita, dan kita menjadi budaknya. Ketika kita loyal buta kepada pimpinan partai, organisasi, kelompok, dan isme buatan manusia yang dianutnya, maka berarti kita biarkan diri dijajah mereka.

Apakah kita rela ditaur (atau menghambakan diri kepada) makhluk yang sama lemahnya dengan kita? Tentu kita akan menjawab, "Tidak!" Ya, kita tentu rugi dan direndahkan. Padahal kita adalah makhluk yang mulia, bukan? Yang pantas mengatur kita hanya Allah SWT yang memiliki sifat serba MAHA. Dialah yang Absolute (mutlak), Distinct (berbeda dengan makhluk), dan Unique (satu-satunya). Hanya Dialah yang berhak mengatur kita, karena Dia yang menciptakan kita.

Ketika kita sadar memposisikan diri sebagai hamba dan mengakui Allah SWT sebagai majikan (Tuhan), maka pada saat itulah nilai kemanusiaan kita menjadi sebenarnya. Pada saat itulah "kemerdekaan" benar-benar kita dapatkan. Kita tidak didominasi oleh siapa pun kecuali oleh Allah SWT yang memang seharusnya mendominasi kita. Tetapi ketika kita memposisikan diri sebagai hamba makhluk, maka berarti kita dengan sadar menjatuhkan harga diri kita ke tempat sehina-hinanya.

"Abdullah" (hamba Allah) adalah mereka yang sebenar-benarnya "merdeka."


Senin, Agustus 03, 2009

Keputusan

Sebelum seseorang mengambil keputusan, berbagai pertimbangan telah diperhitungkannya dengan baik. Kemungkinan baik dan buruk yang akan terjadi nampak terukur dan dipergunakan sebagai bahan untuk memilih tindakan apa yang akan diambil. Tindakan itu adalah sebuah keputusan.

Begitu seseorang telah mengambil keputusan, maka berarti ia sudah siap mengambil resiko apapun yang akan dihadapinya. Jika keputusan yang telah diambilnya itu berhubungan dengan orang lain, berarti sebelumnya ia telah membuat agreement dengan mereka. Agreement itu bisa berupa written agreement atau gentle agreement. Bagi orang yang lurus, kedua agreement itu sama-sama bersifat mengikat.

Pada saat pelaksanaan keputusan itulah seseorang akan dinilai sejauh mana konsistensinya terhadap komitmen yang telah diambilnya. Ketika ia menghadapi resiko yang menguntungkan biasanya ia tetap konsisten pada keputusannya. Tetapi ketika resiko merugikan yang dihadapinya, maka ia cenderung untuk mengkhianati agreement-nya.

Pada kondisi seperti itu ia cenderung untuk melarikan diri dari resiko yang dulu pernah dengan gagah dan lantang akan dihadapinya. Tetapi mengapa ia harus memilih kalah dan berkhianat? Bukankah semestinya siap menghadapinya untuk mencari jalan keluarnya?

Manusia kreatif akan selalu berusaha untuk mencari alternatif solusi. Dan ia akan menemukan banyak alternatif. Akhirnya ia mendapatkan kebahagiaan atas prestasinya, yang didapatkan dengan kebesaran hati untuk tetap konsisten (istiqamah) dalam agreement yang telah dengan sadar diambilnya.

Semoga berbahagia orang-orang yang seperti ini. Amin.


Quality First

"Quality First" adalah suatu istilah yang tidak berlebihan. Sebab, jika kita mendapatkan sesuatu, tentu kita menginginkan kualitas yang terbaik. Secara tidak langsung kita menuntut pihak lain memberikan kualitas yang terbaik untuk kita. Maka, mengapa kita cenderung tidak memberikan kualitas yang terbaik untuk pihak lain?


Apa yang kita kerjakan juga akan berdampak langsung bagi kita sendiri. Kita sering menuntut segala yang kita terima mempunyai kualitas terbaik, tetapi karya kita tidak mendukung ke arah itu. Mana mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik?

Contohnya, kita ingin orang lain menghargai kita selayaknya sebagai manusia terhormat, tetapi kita tidak pernah menghormati orang lain secara layak. Kita ingin mendapatkan nilai yang bagus, tetapi kita tidak pernah belajar dengan baik. Kita menginginkan anak kita menjadi sholeh/sholihah, tetapi perilaku kita justeru jauh dari tatanan agama. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Logis, bukan?

Nah, jika kita menginginkan sesuatu yang kita terima berkualitas, marilah kita berkarya yang berkualitas!

About "Quality First"

“Quality First” is a term that is not excessive. Because, if we get something, of course we want the best quality. Indirectly we want others provide the best quality for us. So, why do we tend not to give the best quality for the others?

"Quality First" adalah suatu istilah yang tidak berlebihan. Sebab, jika kita mendapatkan sesuatu, tentu kita menginginkan kualitas yang terbaik. Secara tidak langsung kita menuntut pihak lain memberikan kualitas yang terbaik untuk kita. Maka, mengapa kita cenderung tidak memberikan kualitas yang terbaik untuk pihak lain?